Kamis, 25 Desember 2008
Mandikan aku Bunda
Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlangdan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsepdirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupunprofesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu,mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika Universitas mengirimmahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht,Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskanpendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai stafdiplomat, bertepatan dengan tuntasnya Konon, nama putera mereka itudiambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempatmengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertamadan terakhir.Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Ranisemakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satukota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnyasaya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untukditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudahmengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itubetul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditanganisecara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontroljadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampaklincah, cerdas dan gampang mengerti.Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayangitu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar,tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. ''Contohlahayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif,ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik.Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembalimenagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untukmenghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengekminta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukanperengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekalingambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannyadengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanyasuper sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri padakeluarga ini.Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alifmenolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnyapenuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangatdiperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesitberdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turutmembujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!''kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir,mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agaklebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisaditinggal juga.Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter.''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swtsudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggilpulang oleh-Nya.Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya.Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalahmemandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Ranimemang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknyasendiri.Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecilterbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih,di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir darisampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdirimematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu,berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnyaataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi jugakan?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dariorang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias,tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani,tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkanaroma bunga kamboja.Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantastergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis,lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikanAlif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..''Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dantertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yangmenaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar